Catatan Kegelisahan Seorang Pendaki
Judul: Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam
Penulis: Norman Edwin
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: Mei, 2010
Tebal: xvi + 423 Halaman
Buku ini tidak lain merupakan laporan Norman Edwin ketika berusaha menapakkan
kaki berbagai puncak tertinggi di dunia, lembah-lembah penuh misteri, hingga
wilayah-wilayah yang masih menyisakan persoalan.
Namun Norman tidak hanya menuliskan kenangan indah saat ia berada di
tempat-tempat tersebut, tetapi ia juga melukiskan ketegangan, saat-saat maut
mengintai, hingga masalah-masalah kronis yang “menghinggapi” berbagai tempat
yang disambanginya.
Di tahun 1980-an, Norman Edwin bukan lagi "anak bawang" dalam jagat
pendaki gunung. Pengalamannya mendakai berbagai tempat yang jarang dikunjungi
manusia telah menempatkannya menjadi salah satu pendaki andalan dari Indonesia.
Kehebatannya menuliskan pengalaman selama melakukan pendakian maupun mengikuti
ekspedisi, telah membuat lelaki yang dijuluki Beruang Gunung tersebut,
dipercaya untuk membuat berbagai laporan di sejumlah media cetak di Indonesia.
Jika tulisan-tulisan dalam buku ini diamati, ternyata Norman tidak hanya
bercerita sesuatu yang bersifat personal. Ia tidak berpretensi untuk
menunjukkan superioritasnya sebagai sosok yang sanggup menjawab keganasan alam.
Namun ia juga berusaha untuk memperlihatkan berbagai kecemasan dan
keprihatinannya melihat alam yang semakin rusak oleh tangan manusia.
Pada bagian awal buku ini misalnya, Norman sudah memperlihatkan bahwa padang
salju yang menyelimuti Puncak Jayawjaya semakin mengalami penyusutan.
Penyusutan jumlah dan luas selimut es ternyata tidak hanya terjadi pada Puncak
Jayawijaya, tetapi juga sejumlah puncak gunung es yang berada di belahan dunia
lain.
Berbagai teori dan spekulasi dilontarkan untuk menjawab fenomena tersebut.
Namun tidak satu pun yang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Tetapi,
kini, sekitar 30 tahun kemudian, ada jawaban yang mungkin membuat semua pihak
puas, yakni pada saat itu proses pemanasan global sudah dimulai. Proses itu
pulalah yang membuat gunung es di kutub utara mulai lumer.
Keprihatinan Norman atas rusaknya alam, tercermin juga dalam tulisanya mengenai
Situ Aksan (situ berarti danau dalam bahasa Sunda), sebuah danau sisa
peninggalan Bandung purba. Hasil penelusuran Norman memperlihatkan bahawa Situ
Kasan yan pada tahun 1940-an masih seluas lima hektar persegi, namun 40 tahun
kemudian menyusut hingga seluas satu hektar saja.
Lagi-lagi, kerusakan ini terjadi akibat ulah manusia yang membebani danau
tersebut, mulai dari pembangunan pemukiman di sekitar danau hingga pencemaran
yang berasal dari bangunan yang berada di sekitar danau tersebut. Lalu, seperti
kisah sedih tentang alam lainnya, Situ Aksan pun akan tinggal cerita saja.
Tidak hanya soal kondisi alam, dalam buku ini juga dimuat tulisan Norman
mengenai sejumlah situs candi yang dirusak oleh orang yang tidak
bertanggungjawab. Dimuatnya tulisan ini tentu saja menunjukkan bahwa persoalan
seperti ini memang masih terjadi dan jelas-jelas menuntut penyelesaian.
Sayangnya, upaya penyelesaian tersebut belum maksimal.
Catatan lain dari buku ini adalah, tidak terdapatnya keterangan pada foto yang
dimuat. Padahal, sebuah foto justru tidak berbicara apa-apa ketika disuguhkan
tanpa caption maupun teks. Alhasil, foto-foto dalam buku ini tidak begitu
terasa faedahnya sebagai pelengkap isi tulisan. Sayang sekali.
Namun begitu, diterbitkannya buku ini patut mendapat apresiasi. Tentu bukan
sekadar untuk menunjukkan heroisme ataupun keberhasilan manusia “menaklukkan”
alam, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang muda untuk lebih
peduli pada kondisi alam yang kian memprihatinkan.
Norman Edwin memang telah tiada. Ia kehilangan nyawanya ketika melakukan
ekspedisi menuju puncak Aconcagua, di Argentina pada tahun 1992. Namun berkat
tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dalam buku ini, pembaca masih dapat ikut
merasakan kedahsyatan alam, sekaligus mendengarkan senandung sedih alam yang
digerogoti oleh keserakahan manusia.
No comments:
Post a Comment