1. JELASKAN "CYBERSPACE" SEBAGAI SEBUAH RUANG BUDAYA BAGI MANUSIA
Kita dapat merasakan terjadinya
percepatan proses aktivitas kehidupan dalam era globalisasi ini. Dunia pun
seakan-akan melipat dirinya. Manusia tidak perlu lagi menghabiskan banyak waktu
untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak perlu lagi menunggu
untuk mendapatkan informasi tentang keadaan suatu daerah di wilayah yang jauh
dari tempatnya berada. Manusia tidak perlu lagi membaca banyak buku untuk
menemukan suatu informasi yang dia butuhkan. Hal tersebut terjadi sejak
perkembangan teknologi yang kian pesat, terutama sejak dimunculkannya internet
secara global.
Apakah masyarakat Indonesia sudah siap
menerima serangan elektronisasi yang dibawa oleh globalisasi melalui fasilitas
internetnya? Jawabannya tergantung kepada para pelajar. Pelajar di sini
berarti semua orang yang memiliki niat untuk belajar, tidak terpatok dalam
batasan umur dan gelar ataupun jabatan, maka anak SD hingga orang-orang tua
semuanya berperan dalam mempersiapkan Indonesia yang elektronis.
Perhatian terhadap perkembangan
internet dan perannya dalam kehidupan manusia tak dapat lepas dari perkembangan
Information Commnication Techlology (ICT) atau lebih dikenal di Indonesia
dengan teknologi informasi dan komunikasi, sebab peran ICT terhadap berbagai
bidang kehidupan sangatlah besar. Teknologi informasi dan komunikasi mampu
mengubah cara orang berkomunikasi, cara orang bekerja, cara orang belajar atau
dengan kata lain mengubah cara hidup. Penerapan ICT dalam kehidupan merupakan
pintu gerbang dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu kebudayaan cyber.
Kebudayaan Cyber adalah kebudayaan
yang terbentuk karena semakin membudayanya pelaksanaan hampir segala jenis
aktivitas manusia di dunia cyber. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya
elektronisasi di hampir segala jenis aktivitas kehidupan manusia. Hal ini
berarti semua manusia harus memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan
alat-alat elektronis yang berteknologi tinggi sebab jika tidak maka manusia itu
akan terpinggirkan dan menjadi manusia yang tidak berguna.
Penerapan ICT memiliki tantangan
tersendiri. Masalah muncul ketika aktivitas yang berbasis ICT berinteraksi
dengan orang-orang yang masih gagap teknologi. Proses komunikasi berbasis
teknologi informasi akan terlihat tersendat, macet bahkan tak berfungsi ketika
berhadapan dengan manusia-manusia yang belum terlalu akrab dengan komputer,
jaringan dan internet.
Tantangan penerapan ICT dapat dikelompokkan
ke dalam tiga kelompok, yaitu sarana dan prasarana, masyarakat dan individu.
Tantangan yang ada dalam sarana prasarana antara lain adalah software yang
digunakan untuk fasilitas pendukung ICT sebagian besar masih belum berbahasa
Indonesia.
Kemungkinan terjadinya kebocoran informasi rahasia negara semakin besar, belum terlalu memasyarakatnya internet maupun alat-alat pendukung teknologi informasi terutama di daerah-daerah terpencil.
Kemungkinan terjadinya kebocoran informasi rahasia negara semakin besar, belum terlalu memasyarakatnya internet maupun alat-alat pendukung teknologi informasi terutama di daerah-daerah terpencil.
Tantangan penerapan ICT yang muncul
dari sudut pandang kemasyarakatan adalah kurangnya SDM yang mampu untuk menjadi
teknisi alat-alat yang mendukung penerapan ICT, kurangnya jumlah SDM yang
memiliki keterampilan dan kemampuan untuk memanfaatkan informasi yang
disediakan oleh teknologi informasi, masih tersendatnya komunikasi antarahli
ICT untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sehari-hari, masih hidup dan
dipertahankannya budaya-budaya negatif. Kebiasaan yang tidak baik dan
mentalitas rendah dalam masyarakat Indonesia, misalnya korupsi, kolusi,
kurangnya kedisiplinan terhadap peraturan, malas, pembajakan karya cipta
(termasuk mencontek jawaban soal pada ujian), egois dan kapitalis yang
mematikan fungsi sosial manusia karena selalu berorientasi kepada keuntungan
material dan cenderung individualis yang sekuler, sosialis yang meniadakan sisi
pribadi manusia dan menjadikan manusia hanya berfungsi sebagai makhluk komunal,
kurang mengenal diri sendiri, kurang bertanggung jawab.
Pribadi yang berinteraksi dengan ICT
pun memunculkan beberapa tantangan yang patut diperhitungkan, yaitu moral dan
spiritualitas yang rendah pada sebagian besar rakyat Indonesia, masih adanya
orang-orang yang phobia terhadap pertumbuhan dan penerapan teknologi informasi
dan komunikasi yang diakibatkan oleh masih adanya mentalitas rendah, misalnya
mempersulit yang mudah untuk keuntungannya sendiri.
Penerapan ICT di Indonesia terkait
dengan e-lndonesia Initiative. E-lndonesia Initiative adalah suatu gerakan yang
berkaitan dengan pembangunan teknologi dan komunikasi di Indonesia, baik usulan
kebijakan, tesbed, pengendalian, pemantauan maupun kegiatan-kegiatan yang
terkait lainnya, baik di pemerintahan, korporasi, sekolah maupun lembaga
swadaya masyarakat. Tujuan kegiatan ini adalah tercapainya pembangunan
teknologi informasi dan komunikasi yang selaras dengan pembangunan negara
Republik Indonesia. Pembangunan e-commerce, e-education, e-government dll.
perlu diteruskan dengan melihat pengalaman selama ini dan juga strategi
pembangunan maupun penerapan yang lebih sesuai.
Konsep penerapan teknologi informasi
dan komunikasi akan percuma jika tantangan yang ada dalam masyarakat dan
pribadi bangsa Indonesia tidak kita tanggulangi. Hal itu pun akan makin parah
jika peluang yang ada tidak kita manfaatkan. Penyambutan elektronisasi dalam
segala bidang harus kita persiapkan dengan pembentukan budaya baru dalam diri
bangsa Indonesia. Pembentukan budaya ini tidak berarti mengganti seluruh budaya
yang ada, namun lebih cenderung kepada penggabungan budaya-budaya baik yang ada
pada dua kebudayaan (kebudayaan internal dan kebudayaan eksternal) dengan
tujuan terciptanya satu budaya unggul yang memanusiakan manusia dan menunjukkan
manusia yang menjadi dirinya sendiri namun tetap sesuai fitrahnya.
Kebiasaan dan mentalitas yang harus ditanam, dipupuk dan dipelihara oleh masyarakat Indonesia untuk menuju kebudayaan cyber adalah kebiasan untuk disiplin. Bentuk disiplin itu antara lain berusaha untuk menepati janji, tepat waktu, taat pada peraturan yang berlaku atas dasar kesadaran pribadi bukan atas dasar rasa takut. Menjadi pribadi yang visioner (memiliki tujuan hidup yang jelas dan motivasi yang benar), berkarater (memiliki harga diri dan kehormatan jiwa dalam bentuk jujur, terpercaya, bertanggung jawab, setia dan loyal), selalu berusaha untuk tidak menjadi beban orang lain, juga merupakan mentalitas yang harus ada. Hal lain yang patut dilahirkan adalah memiliki prisip kerja keras, tuntas, kualitas, cerdas dan ikhlas. Kebiasaan mengeluh, bertindak sia-sia, malas, mengandalkan orang lain dan plagiasi (peniruan) murni adalah budaya yang harus dihilangkan dan dimatikan. Catatan penting dalam persiapan menuju kebudayaan cyber adalah perhatian terhadap sisi spiritualitas manusia, sebab sehebat apapun manusia tetap ada batasan yang tak dapat ditembus oleh kemampuannya. Harus ada keseimbangan perkembangan antara iptek dan moral. Spirituaitas disini bukan sebagai pelarian manusia, namun sebagai penopang perkembangan pemikiran manusia.
Kebiasaan dan mentalitas yang harus ditanam, dipupuk dan dipelihara oleh masyarakat Indonesia untuk menuju kebudayaan cyber adalah kebiasan untuk disiplin. Bentuk disiplin itu antara lain berusaha untuk menepati janji, tepat waktu, taat pada peraturan yang berlaku atas dasar kesadaran pribadi bukan atas dasar rasa takut. Menjadi pribadi yang visioner (memiliki tujuan hidup yang jelas dan motivasi yang benar), berkarater (memiliki harga diri dan kehormatan jiwa dalam bentuk jujur, terpercaya, bertanggung jawab, setia dan loyal), selalu berusaha untuk tidak menjadi beban orang lain, juga merupakan mentalitas yang harus ada. Hal lain yang patut dilahirkan adalah memiliki prisip kerja keras, tuntas, kualitas, cerdas dan ikhlas. Kebiasaan mengeluh, bertindak sia-sia, malas, mengandalkan orang lain dan plagiasi (peniruan) murni adalah budaya yang harus dihilangkan dan dimatikan. Catatan penting dalam persiapan menuju kebudayaan cyber adalah perhatian terhadap sisi spiritualitas manusia, sebab sehebat apapun manusia tetap ada batasan yang tak dapat ditembus oleh kemampuannya. Harus ada keseimbangan perkembangan antara iptek dan moral. Spirituaitas disini bukan sebagai pelarian manusia, namun sebagai penopang perkembangan pemikiran manusia.
Sebagai penutup, melakukan perubahan
kebudayaan merupakan hal yang sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin. Selama
kita berusaha untuk merubah, maka hal itu pasti dapat terlaksana. Maka bukan
hal yang tidak mungkin jika kelak bangsa Indonesia dapat ikut berperan dalam
pembentukan kebudayaan baru, yaitu Kebudayaan Cyber.
2. APA SAJA MASALAH BUDAYA YANG MUNGKIN BISA
DITEMUKAN DALAM “CYBERSPACE”
Dunia tanpa ruang bernama cyberspace
itu berada dalam sebuah jaringan yang kita kenal sebagai Internet. Sesuatu yang
disebut William Gibson dalam novelnya Neuromacer (1984) sebagai “the
Information Superhighway” atau “the Matrix”. Di mana setiap orang bisa
melakukan apa saja; dari bertukar surat melalui e-mail, bertransaksi jarak jauh
yang menembus batas-batas teritorial negara, teleconference, telcommuting,
sampai melakukan hubungan seks “virtual” melalui cybersex dalam virtual
reality.
Fenomena inilah yang mengawali
transformasi kebudayaan pascaruang. Sebuah kebudayaan maya (cyberculture) yang
mengusung nilai-nilai alternatif yang sama sekali baru. Dalam era kebudayaan
pascaruang ini, kita akan menyaksikan bagaimana kehidupan manusia berubah
secara drastis. Tidak hanya dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi
juga dalam dunia sosial.
Kita melihat bagaimana transaksi
ekonomi tidak lagi dilakukan face to fece melainkan dilakukan di depan layar
monitor dengan memasukkan beberapa digit angka nomor kartu kredit, atau
bagaimana karya Monalisa milik Leonardo Da Vinci tidak lagi hanya bisa
dinikmati di Museum Louvre Paris tetapi di depan layar komputer di rumah kita.
Bahkan teknologi cyberspace telah menawarkan sesuatu yang lebih fantastis,
virtual reality; seperti ketika Anda bisa berjalan-jalan ke seluruh penjuru
dunia untuk melihat-lihat pemukiman di Princenton atau iseng-iseng menengok
Yacht milik Saddam Hussein (misalnya) dari kamar tidur kita dengan hanya
menekan tombol mouse dan keyboard komputer melalui fasilitas Google Earth.
Kita mungkin berdecak kagum
menyaksikan bagaimana cyberspace dan teknologi komputer memperlihatkan
teknologi yang begitu canggih dan mutakhir. Hanya dengan kumpulan informasi
dalam bit, kabel-kabel, telepon, satelit, jaringan, modem, server, dan
alat-alat teknologi lain kita bisa memasuki sebuah ruang tanpa batas dan
melakukan apa saja yang beberapa puluh tahun lalu dibayangkan oleh orang-orang
sebelum kita sebagai mimpi yang mustahil.
Tetapi yang menarik untuk dibahas saat ini bukan sekedar kecanggihan teknologi informasi (cyberspace) saja. Bukan pula kabel-kabel, chip, atau jaringan yang berseliweran di sekeliling kita dan memiliki jalin kelindan yang kompleks dan rumit. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah bagaimana transformasi kebudayaan pascaruang yang dibawa cyberspace itu telah menjadi penanda bagi kematian sosial.
Tetapi yang menarik untuk dibahas saat ini bukan sekedar kecanggihan teknologi informasi (cyberspace) saja. Bukan pula kabel-kabel, chip, atau jaringan yang berseliweran di sekeliling kita dan memiliki jalin kelindan yang kompleks dan rumit. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah bagaimana transformasi kebudayaan pascaruang yang dibawa cyberspace itu telah menjadi penanda bagi kematian sosial.
Cyberspace dan cyberculture diam-diam
telah menyanyikan kidung kematian bagi sosial. Kini kita tidak lagi menemukan
manusia-manusia sosial yang memiliki kepedulian dan sensitivitas, kita juga
tidak menemukan adanya hubungan yang baik antarmasyarakat dalam pertukaran
kepentingan mereka dalam sebuah kebudayaan lokal, nasional, maupun global. Kita
hanya melihat orang-orang saling berkirim surat (e-mail) namun tak pernah
saling bertemu, orang-orang saling bertukar barang tetapi tak saling mengenal,
dan lainnya.
Bayang-bayang kematian sosial telah
diperlihatkan cyberculture ketika orang-orang lebih merasa hidup dan memiliki
identitas di ruang sosial artifisial—dalam mailng list, chat forum, atau
Friendster©—tidak dalam ruang sosial (social sphare) yang sesungguhnya.
“Dalam kematian sosial setiap orang
akan sepenuhnya hidup di dalam ruang sosial artifisial, dan menjalankan segala
aktivitas di dalamnya dalam wujudnya yang artifisial: bermain dalam kelompok
permainan virtual, belanja lewat teleshoping, bertemu dalam teleconference,
memuaskan nafsu di dalam cybersex, melakukan kejahatan digital (hacker), atau
menghabiskan waktu dalam kuis-kuis televisi.
Dalam dunia sosial, budaya beroperasi melalui serangkaian nilai yang disepakati bersama. Dalam masyarakat dimana kebudayaan telah bertransformasi menuju kebudayaan pascaruang cyberspace, nilai-nilai yang disepakati bersama itu sudah tidak lagi ada. Ia digantikan oleh perang kepentingan tanpabatas yang setiap hari berseliweran dan saling mengungguli satu sama lain atau saling merusak satu sama lain. Maka muncullah istilah-istilah cyberspace yang—sebenarnya terjadi di dunia maya namun—mengganggu dunia nyata: hacking, hoax, spam, fraud, dan lainnya.
Dalam dunia sosial, budaya beroperasi melalui serangkaian nilai yang disepakati bersama. Dalam masyarakat dimana kebudayaan telah bertransformasi menuju kebudayaan pascaruang cyberspace, nilai-nilai yang disepakati bersama itu sudah tidak lagi ada. Ia digantikan oleh perang kepentingan tanpabatas yang setiap hari berseliweran dan saling mengungguli satu sama lain atau saling merusak satu sama lain. Maka muncullah istilah-istilah cyberspace yang—sebenarnya terjadi di dunia maya namun—mengganggu dunia nyata: hacking, hoax, spam, fraud, dan lainnya.
Ketika kita dituntut untuk meng-update
antivirus setiap tiga minggu sekali agar data-data virtual kita terselamatkan,
cyberspace telah benar-benar mengajak kita—dan seluruh umat manusia—untuk
bertransformasi menuju kebudayaan pasca ruang dan bersama-sama menyanyikan
kidung kematian sosial.
Ketika peserta forum diskusi menyurut karena berhijrah ke dalam chat forum di Internet, ketika pasar-pasar semakin sepi karena masyarakat mulai menggandrungi teleshoping, ketika semua mulai berpindah ke dunia cyber, kita akan bergerak menuju “kesadran pascaruang” sambil mendengar kidung kematian sosial yang tak henti-hentinya dinyanyikan.
Ketika peserta forum diskusi menyurut karena berhijrah ke dalam chat forum di Internet, ketika pasar-pasar semakin sepi karena masyarakat mulai menggandrungi teleshoping, ketika semua mulai berpindah ke dunia cyber, kita akan bergerak menuju “kesadran pascaruang” sambil mendengar kidung kematian sosial yang tak henti-hentinya dinyanyikan.
Dalam situasi kematian sosial smacam ini,
tidak menutup kemungkinan segala bentuk instrumen kehidupan yang berada di
bawah kehidupan sosial—politik, seni, hubungan internasional, dan lainnya—akan
turut terpengaruh. Dalam makalah ini, penulis lebih memfokuskan pada pengaruh
kematian sosial ini terhadap dunia hubungan internasional. Baik itu hubungan
internasional sebagai sebuah studi, tindakan, seni, atau aktor-aktor yang
menjalaninya.
3. KOMUNITAS “HACKTIVISM” LULZSEC SEBAGAI SEBUAH
GERAKAN BUDAYA
LulzSec sendiri adalah kata yang tidak berarti, namun maksud dari
kata ini adalah
penggalan dari kata Lulz dan Sec. Lulz diartikan sebagai LOL (Laugh Of Loud)
yang berarti tertawa keras dan Sec sendiri maksudnya adalah Security. Mungkin maksudnya adalah seseorang yang
bersenang-senang diatas keamanan sistem.
Untuk periode tahun 2011, LulzSec -
sebuah cabang dari Anonymous, internet kolektif "hacktivist" yang
menjadi terkenal sekitar waktu dari urusan Wikileaks - mendatangkan jejak
kekacauan di seluruh web. Tindakan mereka berkisar dari transgresif - mereka
telah diturunkan situs CIA dan hack ke dalam database Sony dan
merilis nama pengguna lebih dari satu juta dan password - yang absurd: setelah
jaringan Amerika PBS menayangkan sebuah dokumenter yang kritis tentang Julian
Assange, LulzSec menyusup ke situs web mereka dan diganti homepage dengan
artikel tentang Tupac Shakur, rapper (sangat banyak mati), yang menanggung
judul "Tupac Masih Hidup di Selandia Baru". Selama musim semi Arab,
anggota kelompok hack dan dirusak situs pemerintah Tunisia dan Mesir. Salah
satu hacker, Tflow (kemudian ditemukan menjadi 16-tahun sekolah London), diduga
menulis webscript yang memungkinkan aktivis untuk menghindari mengintip
pemerintah.
LulzSec juga telah menyusup ke situs
Soca, Badan Kejahatan Serius Terorganisir
Inggris, dan menggantikan halaman depan online Sun
dengan "laporan" bahwa Rupert Murdoch telah
ditemukan tewas (dengan sedikit membantu FBI dalam paragraf penutup : ia sudah
ditemukan, katanya, "di taman yang terkenal topiary nya").
Untuk sementara waktu, LulzSec
menuntut dan menangkap perhatian dunia. Tweets mereka menjadi berita utama.
Lelucon mereka retweeted oleh ribuan. Dan di sana, menunggu saya di stasiun
Spalding, adalah LulzSec PR guru. "Carilah anak pucat yang perlu potong
rambut," dia mengirim sms saya. Dan dia tidak salah. Dia sangat pucat dan
bisa lakukan dengan potong rambut. Dan dia mustahil muda: hanya 19th. Seorang
remaja kurus dengan aksen Skotlandia yang lembut - untuk jangka waktu tahun
lalu, selama "50 hari Lulz" - berlari memutar di sekitar lembaga
penegak hukum di beberapa benua.
Tentu saja, saya sudah tahu apa yang
Jake Davis tampak seperti, karena pada bulan Juli tahun lalu, Davis, kemudian
18th, ditangkap di rumahnya di Kepulauan Shetland. Dan setelah dituduh lima
kejahatan yang berhubungan dengan hacking dan
dibebaskan dengan jaminan, ia muncul ke matahari di luar pengadilan Westminster hakim
bagi dunia untuk melihat. Anonymous tiba-tiba wajah: wajah dan adalah seorang
pemuda, sembunyi-sembunyi berambut berminyak, mengenakan sepasang kacamata
hitam dan membawa sebuah buku berjudul Radikal Bebas: The Anarchy Rahasia
Sains. Jika Anda harus membayangkan apa seorang hacker komputer remaja akan
terlihat seperti, ini adalah itu.
Episode itu berita halaman depan di
website di seluruh dunia, sebagai serangkaian penangkapan yang dibuat: 19 tahun
Ryan Cleary dari Essex, 16 tahun Tflow dari London, 27 tahun Jeremy Hammond
dari Chicago; seorang tentara 25 tahun mantan, Ryan Ackroyd, dari Doncaster, 19
tahun Darren Martyn (atau PwnSauce), dari Galway, dan Donncha O'Cearrbhail
(atau Palladium), juga 19 dan dari Offaly, Irlandia. Penangkapan terbaru, 12
hari lalu, adalah lain, Amerika 20 tahun Raynaldo Rivera of Arizona.
REFERENSI
http://www.academia.edu/4533910/CYBER_PROSTITUTION_Bergesernya_Masalah_Sosial_Ke_Dalam_Ruang_Virtual
Nama / No.absen : Prihadi Kuntoro / 36
NPM : 16113918
Kelas : 1KA09
No comments:
Post a Comment