Friday, 28 March 2014

Pertanyaan untuk paper pertama (analisis pribadi + referensi)

1.   JELASKAN "CYBERSPACE" SEBAGAI SEBUAH RUANG BUDAYA BAGI MANUSIA

Kita dapat merasakan terjadinya percepatan proses aktivitas kehidupan dalam era globalisasi ini. Dunia pun seakan-akan melipat dirinya. Manusia tidak perlu lagi menghabiskan banyak waktu untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak perlu lagi menunggu untuk mendapatkan informasi tentang keadaan suatu daerah di wilayah yang jauh dari tempatnya berada. Manusia tidak perlu lagi membaca banyak buku untuk menemukan suatu informasi yang dia butuhkan. Hal tersebut terjadi sejak perkembangan teknologi yang kian pesat, terutama sejak dimunculkannya internet secara global.
Apakah masyarakat Indonesia sudah siap menerima serangan elektronisasi yang dibawa oleh globalisasi melalui fasilitas internetnya? Jawabannya tergantung kepada para pelajar. Pelajar di sini berarti semua orang yang memiliki niat untuk belajar, tidak terpatok dalam batasan umur dan gelar ataupun jabatan, maka anak SD hingga orang-orang tua semuanya berperan dalam mempersiapkan Indonesia yang elektronis.
Perhatian terhadap perkembangan internet dan perannya dalam kehidupan manusia tak dapat lepas dari perkembangan Information Commnication Techlology (ICT) atau lebih dikenal di Indonesia dengan teknologi informasi dan komunikasi, sebab peran ICT terhadap berbagai bidang kehidupan sangatlah besar. Teknologi informasi dan komunikasi mampu mengubah cara orang berkomunikasi, cara orang bekerja, cara orang belajar atau dengan kata lain mengubah cara hidup. Penerapan ICT dalam kehidupan merupakan pintu gerbang dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu kebudayaan cyber.
Kebudayaan Cyber adalah kebudayaan yang terbentuk karena semakin membudayanya pelaksanaan hampir segala jenis aktivitas manusia di dunia cyber. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya elektronisasi di hampir segala jenis aktivitas kehidupan manusia. Hal ini berarti semua manusia harus memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan alat-alat elektronis yang berteknologi tinggi sebab jika tidak maka manusia itu akan terpinggirkan dan menjadi manusia yang tidak berguna.
Penerapan ICT memiliki tantangan tersendiri. Masalah muncul ketika aktivitas yang berbasis ICT berinteraksi dengan orang-orang yang masih gagap teknologi. Proses komunikasi berbasis teknologi informasi akan terlihat tersendat, macet bahkan tak berfungsi ketika berhadapan dengan manusia-manusia yang belum terlalu akrab dengan komputer, jaringan dan internet.
Tantangan penerapan ICT dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu sarana dan prasarana, masyarakat dan individu. Tantangan yang ada dalam sarana prasarana antara lain adalah software yang digunakan untuk fasilitas pendukung ICT sebagian besar masih belum berbahasa Indonesia.

Kemungkinan terjadinya kebocoran informasi rahasia negara semakin besar, belum terlalu memasyarakatnya internet maupun alat-alat pendukung teknologi informasi terutama di daerah-daerah terpencil.
Tantangan penerapan ICT yang muncul dari sudut pandang kemasyarakatan adalah kurangnya SDM yang mampu untuk menjadi teknisi alat-alat yang mendukung penerapan ICT, kurangnya jumlah SDM yang memiliki keterampilan dan kemampuan untuk memanfaatkan informasi yang disediakan oleh teknologi informasi, masih tersendatnya komunikasi antarahli ICT untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sehari-hari, masih hidup dan dipertahankannya budaya-budaya negatif. Kebiasaan yang tidak baik dan mentalitas rendah dalam masyarakat Indonesia, misalnya korupsi, kolusi, kurangnya kedisiplinan terhadap peraturan, malas, pembajakan karya cipta (termasuk mencontek jawaban soal pada ujian), egois dan kapitalis yang mematikan fungsi sosial manusia karena selalu berorientasi kepada keuntungan material dan cenderung individualis yang sekuler, sosialis yang meniadakan sisi pribadi manusia dan menjadikan manusia hanya berfungsi sebagai makhluk komunal, kurang mengenal diri sendiri, kurang bertanggung jawab.
Pribadi yang berinteraksi dengan ICT pun memunculkan beberapa tantangan yang patut diperhitungkan, yaitu moral dan spiritualitas yang rendah pada sebagian besar rakyat Indonesia, masih adanya orang-orang yang phobia terhadap pertumbuhan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi yang diakibatkan oleh masih adanya mentalitas rendah, misalnya mempersulit yang mudah untuk keuntungannya sendiri.
Penerapan ICT di Indonesia terkait dengan e-lndonesia Initiative. E-lndonesia Initiative adalah suatu gerakan yang berkaitan dengan pembangunan teknologi dan komunikasi di Indonesia, baik usulan kebijakan, tesbed, pengendalian, pemantauan maupun kegiatan-kegiatan yang terkait lainnya, baik di pemerintahan, korporasi, sekolah maupun lembaga swadaya masyarakat. Tujuan kegiatan ini adalah tercapainya pembangunan teknologi informasi dan komunikasi yang selaras dengan pembangunan negara Republik Indonesia. Pembangunan e-commerce, e-education, e-government dll. perlu diteruskan dengan melihat pengalaman selama ini dan juga strategi pembangunan maupun penerapan yang lebih sesuai.
Konsep penerapan teknologi informasi dan komunikasi akan percuma jika tantangan yang ada dalam masyarakat dan pribadi bangsa Indonesia tidak kita tanggulangi. Hal itu pun akan makin parah jika peluang yang ada tidak kita manfaatkan. Penyambutan elektronisasi dalam segala bidang harus kita persiapkan dengan pembentukan budaya baru dalam diri bangsa Indonesia. Pembentukan budaya ini tidak berarti mengganti seluruh budaya yang ada, namun lebih cenderung kepada penggabungan budaya-budaya baik yang ada pada dua kebudayaan (kebudayaan internal dan kebudayaan eksternal) dengan tujuan terciptanya satu budaya unggul yang memanusiakan manusia dan menunjukkan manusia yang menjadi dirinya sendiri namun tetap sesuai fitrahnya.

Kebiasaan dan mentalitas yang harus ditanam, dipupuk dan dipelihara oleh masyarakat Indonesia untuk menuju kebudayaan cyber adalah kebiasan untuk disiplin. Bentuk disiplin itu antara lain berusaha untuk menepati janji, tepat waktu, taat pada peraturan yang berlaku atas dasar kesadaran pribadi bukan atas dasar rasa takut. Menjadi pribadi yang visioner (memiliki tujuan hidup yang jelas dan motivasi yang benar), berkarater (memiliki harga diri dan kehormatan jiwa dalam bentuk jujur, terpercaya, bertanggung jawab, setia dan loyal), selalu berusaha untuk tidak menjadi beban orang lain, juga merupakan mentalitas yang harus ada. Hal lain yang patut dilahirkan adalah memiliki prisip kerja keras, tuntas, kualitas, cerdas dan ikhlas. Kebiasaan mengeluh, bertindak sia-sia, malas, mengandalkan orang lain dan plagiasi (peniruan) murni adalah budaya yang harus dihilangkan dan dimatikan. Catatan penting dalam persiapan menuju kebudayaan cyber adalah perhatian terhadap sisi spiritualitas manusia, sebab sehebat apapun manusia tetap ada batasan yang tak dapat ditembus oleh kemampuannya. Harus ada keseimbangan perkembangan antara iptek dan moral. Spirituaitas disini bukan sebagai pelarian manusia, namun sebagai penopang perkembangan pemikiran manusia.
Sebagai penutup, melakukan perubahan kebudayaan merupakan hal yang sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin. Selama kita berusaha untuk merubah, maka hal itu pasti dapat terlaksana. Maka bukan hal yang tidak mungkin jika kelak bangsa Indonesia dapat ikut berperan dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu Kebudayaan Cyber.

2. APA SAJA MASALAH BUDAYA YANG MUNGKIN BISA DITEMUKAN DALAM “CYBERSPACE”

Dunia tanpa ruang bernama cyberspace itu berada dalam sebuah jaringan yang kita kenal sebagai Internet. Sesuatu yang disebut William Gibson dalam novelnya Neuromacer (1984) sebagai “the Information Superhighway” atau “the Matrix”. Di mana setiap orang bisa melakukan apa saja; dari bertukar surat melalui e-mail, bertransaksi jarak jauh yang menembus batas-batas teritorial negara, teleconference, telcommuting, sampai melakukan hubungan seks “virtual” melalui cybersex dalam virtual reality.
Fenomena inilah yang mengawali transformasi kebudayaan pascaruang. Sebuah kebudayaan maya (cyberculture) yang mengusung nilai-nilai alternatif yang sama sekali baru. Dalam era kebudayaan pascaruang ini, kita akan menyaksikan bagaimana kehidupan manusia berubah secara drastis. Tidak hanya dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam dunia sosial.
Kita melihat bagaimana transaksi ekonomi tidak lagi dilakukan face to fece melainkan dilakukan di depan layar monitor dengan memasukkan beberapa digit angka nomor kartu kredit, atau bagaimana karya Monalisa milik Leonardo Da Vinci tidak lagi hanya bisa dinikmati di Museum Louvre Paris tetapi di depan layar komputer di rumah kita. Bahkan teknologi cyberspace telah menawarkan sesuatu yang lebih fantastis, virtual reality; seperti ketika Anda bisa berjalan-jalan ke seluruh penjuru dunia untuk melihat-lihat pemukiman di Princenton atau iseng-iseng menengok Yacht milik Saddam Hussein (misalnya) dari kamar tidur kita dengan hanya menekan tombol mouse dan keyboard komputer melalui fasilitas Google Earth.
Kita mungkin berdecak kagum menyaksikan bagaimana cyberspace dan teknologi komputer memperlihatkan teknologi yang begitu canggih dan mutakhir. Hanya dengan kumpulan informasi dalam bit, kabel-kabel, telepon, satelit, jaringan, modem, server, dan alat-alat teknologi lain kita bisa memasuki sebuah ruang tanpa batas dan melakukan apa saja yang beberapa puluh tahun lalu dibayangkan oleh orang-orang sebelum kita sebagai mimpi yang mustahil.

Tetapi yang menarik untuk dibahas saat ini bukan sekedar kecanggihan teknologi informasi (cyberspace) saja. Bukan pula kabel-kabel, chip, atau jaringan yang berseliweran di sekeliling kita dan memiliki jalin kelindan yang kompleks dan rumit. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah bagaimana transformasi kebudayaan pascaruang yang dibawa cyberspace itu telah menjadi penanda bagi kematian sosial.
Cyberspace dan cyberculture diam-diam telah menyanyikan kidung kematian bagi sosial. Kini kita tidak lagi menemukan manusia-manusia sosial yang memiliki kepedulian dan sensitivitas, kita juga tidak menemukan adanya hubungan yang baik antarmasyarakat dalam pertukaran kepentingan mereka dalam sebuah kebudayaan lokal, nasional, maupun global. Kita hanya melihat orang-orang saling berkirim surat (e-mail) namun tak pernah saling bertemu, orang-orang saling bertukar barang tetapi tak saling mengenal, dan lainnya.
Bayang-bayang kematian sosial telah diperlihatkan cyberculture ketika orang-orang lebih merasa hidup dan memiliki identitas di ruang sosial artifisial—dalam mailng list, chat forum, atau Friendster©—tidak dalam ruang sosial (social sphare) yang sesungguhnya.
“Dalam kematian sosial setiap orang akan sepenuhnya hidup di dalam ruang sosial artifisial, dan menjalankan segala aktivitas di dalamnya dalam wujudnya yang artifisial: bermain dalam kelompok permainan virtual, belanja lewat teleshoping, bertemu dalam teleconference, memuaskan nafsu di dalam cybersex, melakukan kejahatan digital (hacker), atau menghabiskan waktu dalam kuis-kuis televisi.

Dalam dunia sosial, budaya beroperasi melalui serangkaian nilai yang disepakati bersama. Dalam masyarakat dimana kebudayaan telah bertransformasi menuju kebudayaan pascaruang cyberspace, nilai-nilai yang disepakati bersama itu sudah tidak lagi ada. Ia digantikan oleh perang kepentingan tanpabatas yang setiap hari berseliweran dan saling mengungguli satu sama lain atau saling merusak satu sama lain. Maka muncullah istilah-istilah cyberspace yang—sebenarnya terjadi di dunia maya namun—mengganggu dunia nyata: hacking, hoax, spam, fraud, dan lainnya.
Ketika kita dituntut untuk meng-update antivirus setiap tiga minggu sekali agar data-data virtual kita terselamatkan, cyberspace telah benar-benar mengajak kita—dan seluruh umat manusia—untuk bertransformasi menuju kebudayaan pasca ruang dan bersama-sama menyanyikan kidung kematian sosial.
Ketika peserta forum diskusi menyurut karena berhijrah ke dalam chat forum di Internet, ketika pasar-pasar semakin sepi karena masyarakat mulai menggandrungi teleshoping, ketika semua mulai berpindah ke dunia cyber, kita akan bergerak menuju “kesadran pascaruang” sambil mendengar kidung kematian sosial yang tak henti-hentinya dinyanyikan.
Dalam situasi kematian sosial smacam ini, tidak menutup kemungkinan segala bentuk instrumen kehidupan yang berada di bawah kehidupan sosial—politik, seni, hubungan internasional, dan lainnya—akan turut terpengaruh. Dalam makalah ini, penulis lebih memfokuskan pada pengaruh kematian sosial ini terhadap dunia hubungan internasional. Baik itu hubungan internasional sebagai sebuah studi, tindakan, seni, atau aktor-aktor yang menjalaninya.


3.   KOMUNITAS “HACKTIVISM” LULZSEC SEBAGAI SEBUAH GERAKAN BUDAYA

LulzSec sendiri adalah kata yang tidak berarti, namun maksud dari kata ini adalah penggalan dari kata Lulz dan Sec. Lulz diartikan sebagai LOL (Laugh Of Loud) yang berarti tertawa keras dan Sec sendiri maksudnya adalah Security. Mungkin maksudnya adalah seseorang yang bersenang-senang diatas keamanan sistem.

Untuk periode tahun 2011, LulzSec - sebuah cabang dari Anonymous, internet kolektif "hacktivist" yang menjadi terkenal sekitar waktu dari urusan Wikileaks - mendatangkan jejak kekacauan di seluruh web. Tindakan mereka berkisar dari transgresif - mereka telah diturunkan situs CIA dan hack ke dalam database Sony dan merilis nama pengguna lebih dari satu juta dan password - yang absurd: setelah jaringan Amerika PBS menayangkan sebuah dokumenter yang kritis tentang Julian Assange, LulzSec menyusup ke situs web mereka dan diganti homepage dengan artikel tentang Tupac Shakur, rapper (sangat banyak mati), yang menanggung judul "Tupac Masih Hidup di Selandia Baru". Selama musim semi Arab, anggota kelompok hack dan dirusak situs pemerintah Tunisia dan Mesir. Salah satu hacker, Tflow (kemudian ditemukan menjadi 16-tahun sekolah London), diduga menulis webscript yang memungkinkan aktivis untuk menghindari mengintip pemerintah.

LulzSec juga telah menyusup ke situs Soca, Badan Kejahatan Serius Terorganisir Inggris, dan menggantikan halaman depan online Sun dengan "laporan" bahwa Rupert Murdoch telah ditemukan tewas (dengan sedikit membantu FBI dalam paragraf penutup : ia sudah ditemukan, katanya, "di taman yang terkenal topiary nya").

Untuk sementara waktu, LulzSec menuntut dan menangkap perhatian dunia. Tweets mereka menjadi berita utama. Lelucon mereka retweeted oleh ribuan. Dan di sana, menunggu saya di stasiun Spalding, adalah LulzSec PR guru. "Carilah anak pucat yang perlu potong rambut," dia mengirim sms saya. Dan dia tidak salah. Dia sangat pucat dan bisa lakukan dengan potong rambut. Dan dia mustahil muda: hanya 19th. Seorang remaja kurus dengan aksen Skotlandia yang lembut - untuk jangka waktu tahun lalu, selama "50 hari Lulz" - berlari memutar di sekitar lembaga penegak hukum di beberapa benua.

Tentu saja, saya sudah tahu apa yang Jake Davis tampak seperti, karena pada bulan Juli tahun lalu, Davis, kemudian 18th, ditangkap di rumahnya di Kepulauan Shetland. Dan setelah dituduh lima kejahatan yang berhubungan dengan hacking dan dibebaskan dengan jaminan, ia muncul ke matahari di luar pengadilan Westminster hakim bagi dunia untuk melihat. Anonymous tiba-tiba wajah: wajah dan adalah seorang pemuda, sembunyi-sembunyi berambut berminyak, mengenakan sepasang kacamata hitam dan membawa sebuah buku berjudul Radikal Bebas: The Anarchy Rahasia Sains. Jika Anda harus membayangkan apa seorang hacker komputer remaja akan terlihat seperti, ini adalah itu.


Episode itu berita halaman depan di website di seluruh dunia, sebagai serangkaian penangkapan yang dibuat: 19 tahun Ryan Cleary dari Essex, 16 tahun Tflow dari London, 27 tahun Jeremy Hammond dari Chicago; seorang tentara 25 tahun mantan, Ryan Ackroyd, dari Doncaster, 19 tahun Darren Martyn (atau PwnSauce), dari Galway, dan Donncha O'Cearrbhail (atau Palladium), juga 19 dan dari Offaly, Irlandia. Penangkapan terbaru, 12 hari lalu, adalah lain, Amerika 20 tahun Raynaldo Rivera of Arizona.

REFERENSI


Nama / No.absen : Prihadi Kuntoro / 36
NPM : 16113918
Kelas : 1KA09

No comments:

Post a Comment

IT PROFESI FORENSIC

1.       Definisi IT Forensic/DIGITAL FORENSIC ·         IT Forensik adalah cabang dari ilmu komputer tetapi menjurus ke bagian forensi...